Intermittent fasting dianggap dapat meningkatkan sensitivitas insulin pada pasien diabetes, benarkah?
Ada usulan dari seorang rekan perawat di RSUD Srengat: “Dok, mungkin perlu dibahas hubungan IF dan peningkatanan sensitifitas insulin pada pasien diabetes dok… 🙏😁” usul Mas Rizal dari Poli Bedah.
“Siapp…menarik ini, harus banyak baca lagi,” kata saya.
Intermittent fasting (IF) atau puasa intermiten saat ini memang sedang lagi naik daun. IF dianggap sebagai metode diet yang dapat meningkatkan kesehatan metabolik. Salah satu fokus utamanya adalah pengaruhnya terhadap sensitivitas insulin, yang merupakan faktor kunci dalam pengelolaan diabetes tipe 2.
Artikel ini membahas hubungan antara intermittent fasting dan sensitivitas insulin pada pasien diabetes, dengan melampirkan dukungan dari beberapa penelitian terkini.
Apa Itu Intermittent Fasting?
Intermittent fasting (IF) adalah pola makan yang bergantian antara periode makan dan puasa.
Beberapa metode umum IF: puasa 16/8 (puasa selama 16 jam dan makan dalam jendela 8 jam), puasa 5:2 (makan normal selama 5 hari dan membatasi asupan kalori pada 2 hari), dan puasa 24 jam secara berkala.
Tujuan IF: untuk meningkatkan metabolisme dan memberikan waktu bagi tubuh untuk memperbaiki sel dan jaringan.
Intermittent Fasting dan Sensitivitas Insulin
Sensitivitas insulin merupakan kemampuan sel tubuh untuk merespons insulin dan memproses glukosa dengan efektif.
Penurunan sensitivitas insulin atau resistensi insulin adalah karakteristik utama dari diabetes tipe 2. Peningkatan sensitivitas insulin berarti tubuh lebih efisien dalam menggunakan insulin untuk menurunkan kadar gula darah.
Penelitian Terkini
1. Penelitian oleh Mattson et al. (2019): Dalam studi yang diterbitkan di Annual Review of Nutrition, Mattson dan rekan-rekannya mengevaluasi efek intermittent fasting pada metabolisme dan sensitivitas insulin. Penelitian ini menunjukkan bahwa IF dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan menurunkan kadar gula darah pada individu dengan diabetes tipe 2. Metode puasa intermiten seperti puasa 16/8 menunjukkan hasil yang signifikan dalam meningkatkan kontrol glikemik dan mengurangi risiko komplikasi terkait diabetes.
2. Studi oleh Harvie et al. (2011): Penelitian yang diterbitkan di Jurnal Obesity oleh Harvie dan kolega menginvestigasi efek puasa intermiten terhadap berat badan dan sensitivitas insulin pada pasien dengan obesitas dan diabetes tipe 2. Hasilnya menunjukkan bahwa puasa intermiten, terutama pola 5:2, dapat menurunkan kadar insulin puasa dan meningkatkan sensitivitas insulin. Para peneliti mencatat perbaikan signifikan dalam kontrol glikemik dan penurunan berat badan sebagai efek samping positif.
3. Penelitian oleh Gabel et al. (2018): Penelitian ini, diterbitkan di Cell Metabolism Journal, mengeksplorasi dampak puasa intermiten pada pasien dengan prediabetes dan diabetes tipe 2. Hasilnya menunjukkan bahwa intermittent fasting meningkatkan sensitivitas insulin dan mengurangi kadar glukosa darah pada peserta studi. Penelitian ini juga mencatat perbaikan dalam profil lipid dan penurunan berat badan, yang berkontribusi pada peningkatan sensitivitas insulin.
Mekanisme Kerja Intermittent Fasting
Intermittent fasting berpotensi meningkatkan sensitivitas insulin melalui beberapa mekanisme:
1. Pengurangan Berat Badan: Puasa intermiten dapat membantu menurunkan berat badan, yang sering kali dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas insulin.
2. Perbaikan Fungsi Sel: Puasa dapat memperbaiki fungsi sel, termasuk sel beta pankreas yang memproduksi insulin, serta meningkatkan sensitivitas reseptor insulin.
3. Perubahan Metabolisme: Puasa intermiten dapat mengubah jalur metabolisme glukosa dan lipid, mengurangi resistensi insulin, dan meningkatkan penggunaan glukosa oleh sel.
Kesimpulan: Intermittent Fasting Meningkatkan Sensitivitas Insulin, Tapi…
Intermittent fasting menunjukkan potensi yang menjanjikan dalam meningkatkan sensitivitas insulin dan mengelola diabetes tipe 2. Penelitian terkini mendukung bahwa metode ini dapat membantu pasien diabetes dengan cara meningkatkan kontrol glikemik, mengurangi berat badan, dan memperbaiki profil metabolik secara keseluruhan.
Penting untuk melibatkan pendekatan yang holistik, pengawasan medis dan penyesuaian individual, mengingat bahwa respon terhadap puasa dapat bervariasi antar individu. Kita perlu mempertimbangkan secara individual. Misalnya pada pasien gastritis atau GERD, intermittent fasting mungkin dapat menyebabkan kekambuhan.
Saya sendiri sebenarnya sempat mencoba IF, tapi gagal, hahaha… 😂
Mengapa? Karena saya berangkat kerja jam 7-8 pagi, lalu pulang sekitar jam 6 sore. Jadi saya merasa lapar kalau sore tidak makan. Apalagi kalau pagi nggak sarapan. Karena kelaparan saya jadi craving, dan tidak bijak dalam memilih makanan. Hasilnya BB saya malah naik. Jadi, kesimpulan saya: Tidak semua jenis diet bisa cocok untuk semua orang.
Sebagai dokter spesialis penyakit dalam ataupun paramedis lainnya, penting untuk mempertimbangkan bahwa meskipun intermittent fasting dapat menawarkan manfaat, pendekatan terapi yang disesuaikan secara individual tetap harus menjadi prioritas utama dalam pengelolaan diabetes tipe 2.
3 Responses
Mantab dokter… trimaksih informasinya 🙏😁
Sama-sama mas rizal, semoga bermanfaat 🙂